Manisnya Iman
عَنْ
أَنَسِ بْنِ ماَلَكٍ رَضِي الله عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْههِ
وَسَلَّمَ قَالَ ثَلاَ ثُ مِنْ كُنَّ فِيْهَ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيعَا نَ أَنْ
يَكُوْنَ اللهُ وَرَسُوْ لَهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَ اهُمَا وَأَيَحِبَّ
الَرْءَلاَيُحِبُّهُ إِلاَّلِلهِ وَأَنْ يَكْرَ هَ أَنْ يَعَوْ دَ فِي الْكُفْرِ
كَمَا يَكْرَ هُ أَنْ يُلْقَى النَّارِ.
Dari Anas RA, Rasulullah SAW bersabda, “tiga perkara yang membuat
seseorang menemukan manisnya iman, yaitu mencintai Allah dan Rasulnya melebihi
dari pada cinta kepada salain keduanya, menncinntai orang llain karena allah
dan sangat benci untuk kembali kekufuran, sebagaimana ia membenci untuk
dijatuhkan ke dalam api neraka.
Keterangan Hadits :
Sesungguh nya manisnya iman adalah buah dari pada iman. Untuk itu
etika disebutkan bahwa mencinntai rasulullah adalah sebagaian dari padda iman,
maka dijelaskan setelah itu, bahwa cinta tersebut akan membuahkan sesuatu yang
manis.
حَلاَوةَ اْلإِيعَا نَDalam ilmu balaqhah kalimat ini disebut isti’arah takhyiliyyah,
yang menyamakan rasa cinnta seorang mukmi terhadap keimanan dengan sesuatu yang
manis. Hadits ini mengisyaratkan tentang orang sakit dan orang yang sehat.
Orang yang sehat akan merasakan manisnya madu, sedangkan orang yang menderita
sakit kuning misalnya, rasa tersebut akan berubah menjadi pahit. Imam bukhari
menggunakan bentuk isti’arah ( pengandaian) untuk menjelaskan baik dan turunya
keimanan seseorang. Syaikh abu Muhammad bin Abu Jamrah mengatakan, bahwa
penggunaan istilah “manisnya Iman “ dikarenakan Allah menyamakan Iman dengan
sebatang pohon, sebagaimana dalam firman-Nya, “ perumpamaan kalimah yang baik
seperti pohon yang baik”. Kalimat dalam firman tersebut adalah kalimat ikhlas
(makna yang terkandung dalam surat Al-ikhlas), sedangkan pohon tersebut adalah
dasar keimanan, rantingnya adalah melaksanakan perintah dan menjauhi larangan,
daunya adalah kebaikan yang diperintahkan oleh seseorang mukmin, buahnya adalah
perbuatan taat, dan manisnya buah adalah buah yang sudah siap untuk dipetik,
karena buah yang siap untuk dipetik menunjukkan manisnya buah tersebut.
أَحَبَّ
إِلَيْهِ (
lebih cinta kepadanya )
Imam baidhawi
mengatakan, bahwa maksud cinta disini adalah cinta yang menggunakan akal.
Artinya kecintaan tersebut lebih mengutamakan akal sehat, walaupun harus
bertentnagn dengan hawa nafsu. Seperti orang yang menderita sakit, pada
dasarnya enggan untuk minum obat, namun karena akalnya mengatakan bahwa obat adalah
alaat yang dapat menyembuhkan pennyakit, akhirnya akal memilih untuk minum
obat. Pilihan akal inilah yang membuat nafsu orang sakit tersebut untuk minum
obat. Apabila manusia mengangap bahwa
larangan dan perintah Allah pasti akan mendatangkan manfaatm dan akal pun
cenderung membenarkan hal tersebut, maka orang tersebut akan
membiasakan diri untuk melaksanakan semua perintah tersebut. Dengan demikian
dalam masalah ini secara otomatis hawa nafsu seseorang akan mengikuti kemauan
akal, artinya kemauan akal adalah kesadaran akan arti sesuatu yang sempurna dan
baik.
Rasul menjadikan
tiga perkaara tersebut sebagai tanda kesempurnaan iman seseorang, karena jika
seseorang telah menyakini bahwa sang pemberi nikmat hanya Allah semata, dan
Rasulullah telah menjelaskan apa yang dinginkan oleh Allah, maka menjadi
keharusan bagi manusia untuk mengorientasikan semua yang dilakukannnya hany
untuk Allah semata, sehingga ia tidak menyukai dan membenci kecuali apa yang
disukai dan dibenci oleh Allah Dan Rasulullah. Ia yakin bahwa semua yang
dijanjikan oleh Allah akan menjadi kenyataan, dengan demikian dzikir kepada
allah dan Rasulnya adalah surge dan kembali kembali kepada kekufuran adalah
neraka. Hadits ini dibenarkan Allah Firman Allah, “ katakanlah jika bapak-bapak, anak-anak” sampai firman
Allah, “lebih kamu cintai dari pada Allah dan rasulNya,” kemudian Allah
mengencam akan hal tersebut dengan janji fatarabbashuu (maka tunggulah).
Maka hadits telah
mengisyaratkan kepada manusia untuk selalu melaksanakan keutamaan dan
meninggalkan kehinaan. Ada pendapat yang mengatakan, bahwa cinta kepada Allah
mencakup dua Hal :
1.
Fardhu : kecintaan yang mendorong manusia untuk melaksanakan segala macam
perintahnnya, meninggalkan segala macam maksiat dan ridha kepada ketetapan-Nya.
Baranngsiapa yang terjerumus dalam kemaksiatan, melaksanakan yang diharamkan
dan meninggalkan yang wajib, maka dia telah lalai dan lebih mengedepankan hawa
nafsunya dari pada kecintaan kepada Allah. Otang yang lalai terkadang lebih
menyukai dan memperbanyak perbuatan-perbuatan yang mubah. Prilaku ini akan
melahirkan ketidak pedulian, sehingga orang tesebut akan dengan mudah
terperosok ke dalam maksiat yang menimbulkan pennyesalan.
2.
Sunnah : Membiasakan diri untuk melaksanakan shalat sunnah dan berusaha
meninggalkan hal-hal yang syubhat. Prilaku orang yang demikian ini masih sangat
jarang kita temukan.
Disamping itu termasuk cinta kepada Rasulullah, adalah tidak
melaksanakan perintah atau tidak menjauhi larangan kecuali ada cahaya penerang
dari beliau, dengan demikian orang tersebut akan selalu berjalan diatas jalan
sudah digariskan. Orang yang mencintai
Rasul pasti akan meridhai syariat yang dibawanya dan berperangai seperti
akhalknya, seperti dermawan, mulia, sabar dan rendah hati. Oleh sebeb itu orang
yang berupaya untuk melakukan perbuatan seperti di atas, niscaya akan menemukan
manisnya Iman.
Syaikh Muhyiddin
mengatakan “ Hadits mengandung makna yang mulia, karena hadits ini merupakan
dasar Agama. Adapun makna “Manisnya iman” adalah kelezatan dalam melaksanakan
ketaatan dan kemampuan menghadapi kesulitan
dalam agama, serta mengutamakan agama dari pada hal-hal yang berbau
keduniaann. Cinta kepada Allah dapat dicapai denga ketaatan dan meninggalkan
segala yang melanggar aturan-nya. Konsekuensi seperti ini tetap sama, bila kita
mencintai Rasulnya. “ begitu pula bila kita mencintai Rasulnya , konsekuensinya
tetap sama seperti ini”
Kata yang dipakai
dalam hadist tersebut adalah “apa saja” buka “ siapa saja”. Hal ini berfungsi
untuk menekankan bahwa makna hadits ini umum mencakup semua benda hidup yang
mempunyai akal dan yang tidak mempunyai akal.
وَأَنْ
يَكْرَ هُ أَنْ يَعُوْ دَ فِيْ الْكُلفْرِ كَمَا يَكْرِ هُ يُلقَى فِي النَّا رِ
Abu nu’aim
menambahkan dalam kitabnya Al-Mustahkraj dari jalur sufya dari Muhammad bin Al-
Mutsna guru Imam Bukhari dengan Kalimat و
بَعْدَ إِذْ أَنْقَذَهُ الَّهُ مِنْهُ( Setelah diselamatkan
Allah Dari Kekufuran). Redaksi sepertin ini juga diriwayat kan oleh Imam
Bukhari melalui jalur yang lain. Kata Inqaadz ( diselamatkan) lebih umum dari
kata “ishmah” (dijaga) sejak lahir dalam keadaan Islam atau dikeluarkan dari
gelapnya kekufuran menuju cahaya Imam, sebagaimana yang dialami oleh sebagian
para sahabat.
Catatan
:
Semua sanad hadits
ini adalah orang Bashrah. Hadits menjadi dalil akan Keutamaan membenci
kekufuran. Hadits ini dicantumkan pada bab dan keutamaan cinta kepada Allah
dengan فِي النَا رِ أحَبَّ إلَيْهِ مِنْ
أنْ يَرْ جِعَ إِلَي الَكُفْرِ بَعْدَ إذْ أَنْقَذَ هُ اللهُ مِنْهُ وَ حَتَّى أنْ
يَقْذَ فَ Redaksi hadits ini lebih lugas, Kerena Hadits
ini menyamakan dua perkara, yaitu dilemparkan dalam api dunia adalah lebih baik
dari pada kekufuran. Redaksi hadits seperti inilah yang diriwayat kan oleh imam
muslim, Nasa’i dan ismail dari Qatadah dari anas.
Dalam riwayat Imam Nasa’I dari jalur sanad Thalq bin hubaib dari
anas, ditambahkan Kata البُغْض( benci), dengan
demikian redaksi hadist menjadi,فِي
اللهِ وَأَنْ يُحِبَّ فِي اللهِ و
يُبْغِضُ ( Mencintai Dan Membenci Karna Allah)..
0 komentar :
Posting Komentar