Minggu, 19 April 2015

Manisnya Iman



Manisnya Iman

عَنْ أَنَسِ بْنِ ماَلَكٍ رَضِي الله عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْههِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلاَ ثُ مِنْ كُنَّ فِيْهَ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيعَا نَ أَنْ يَكُوْنَ اللهُ وَرَسُوْ لَهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَ اهُمَا وَأَيَحِبَّ الَرْءَلاَيُحِبُّهُ إِلاَّلِلهِ وَأَنْ يَكْرَ هَ أَنْ يَعَوْ دَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَ هُ أَنْ يُلْقَى النَّارِ.
Dari Anas RA, Rasulullah SAW bersabda, “tiga perkara yang membuat seseorang menemukan manisnya iman, yaitu mencintai Allah dan Rasulnya melebihi dari pada cinta kepada salain keduanya, menncinntai orang llain karena allah dan sangat benci untuk kembali kekufuran, sebagaimana ia membenci untuk dijatuhkan ke dalam api neraka.
Keterangan Hadits :
Sesungguh nya manisnya iman adalah buah dari pada iman. Untuk itu etika disebutkan bahwa mencinntai rasulullah adalah sebagaian dari padda iman, maka dijelaskan setelah itu, bahwa cinta tersebut akan membuahkan sesuatu yang manis.
             حَلاَوةَ اْلإِيعَا نَDalam ilmu balaqhah kalimat ini disebut isti’arah takhyiliyyah, yang menyamakan rasa cinnta seorang mukmi terhadap keimanan dengan sesuatu yang manis. Hadits ini mengisyaratkan tentang orang sakit dan orang yang sehat. Orang yang sehat akan merasakan manisnya madu, sedangkan orang yang menderita sakit kuning misalnya, rasa tersebut akan berubah menjadi pahit. Imam bukhari menggunakan bentuk isti’arah ( pengandaian) untuk menjelaskan baik dan turunya keimanan seseorang. Syaikh abu Muhammad bin Abu Jamrah mengatakan, bahwa penggunaan istilah “manisnya Iman “ dikarenakan Allah menyamakan Iman dengan sebatang pohon, sebagaimana dalam firman-Nya, “ perumpamaan kalimah yang baik seperti pohon yang baik”. Kalimat dalam firman tersebut adalah kalimat ikhlas (makna yang terkandung dalam surat Al-ikhlas), sedangkan pohon tersebut adalah dasar keimanan, rantingnya adalah melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, daunya adalah kebaikan yang diperintahkan oleh seseorang mukmin, buahnya adalah perbuatan taat, dan manisnya buah adalah buah yang sudah siap untuk dipetik, karena buah yang siap untuk dipetik menunjukkan manisnya buah tersebut.
            أَحَبَّ إِلَيْهِ ( lebih cinta kepadanya )
            Imam baidhawi mengatakan, bahwa maksud cinta disini adalah cinta yang menggunakan akal. Artinya kecintaan tersebut lebih mengutamakan akal sehat, walaupun harus bertentnagn dengan hawa nafsu. Seperti orang yang menderita sakit, pada dasarnya enggan untuk minum obat, namun karena akalnya mengatakan bahwa obat adalah alaat yang dapat menyembuhkan pennyakit, akhirnya akal memilih untuk minum obat. Pilihan akal inilah yang membuat nafsu orang sakit tersebut untuk minum obat.  Apabila manusia mengangap bahwa larangan dan perintah Allah pasti akan mendatangkan manfaatm dan akal pun cenderung  membenarkan hal  tersebut, maka orang tersebut akan membiasakan diri untuk melaksanakan semua perintah tersebut. Dengan demikian dalam masalah ini secara otomatis hawa nafsu seseorang akan mengikuti kemauan akal, artinya kemauan akal adalah kesadaran akan arti sesuatu yang sempurna dan baik.
            Rasul menjadikan tiga perkaara tersebut sebagai tanda kesempurnaan iman seseorang, karena jika seseorang telah menyakini bahwa sang pemberi nikmat hanya Allah semata, dan Rasulullah telah menjelaskan apa yang dinginkan oleh Allah, maka menjadi keharusan bagi manusia untuk mengorientasikan semua yang dilakukannnya hany untuk Allah semata, sehingga ia tidak menyukai dan membenci kecuali apa yang disukai dan dibenci oleh Allah Dan Rasulullah. Ia yakin bahwa semua yang dijanjikan oleh Allah akan menjadi kenyataan, dengan demikian dzikir kepada allah dan Rasulnya adalah surge dan kembali kembali kepada kekufuran adalah neraka. Hadits ini dibenarkan Allah Firman Allah, “ katakanlah  jika bapak-bapak, anak-anak” sampai firman Allah, “lebih kamu cintai dari pada Allah dan rasulNya,” kemudian Allah mengencam akan hal tersebut dengan janji fatarabbashuu (maka tunggulah).
            Maka hadits telah mengisyaratkan kepada manusia untuk selalu melaksanakan keutamaan dan meninggalkan kehinaan. Ada pendapat yang mengatakan, bahwa cinta kepada Allah mencakup dua Hal :
1.      Fardhu : kecintaan yang mendorong manusia untuk melaksanakan segala macam perintahnnya, meninggalkan segala macam maksiat dan ridha kepada ketetapan-Nya. Baranngsiapa yang terjerumus dalam kemaksiatan, melaksanakan yang diharamkan dan meninggalkan yang wajib, maka dia telah lalai dan lebih mengedepankan hawa nafsunya dari pada kecintaan kepada Allah. Otang yang lalai terkadang lebih menyukai dan memperbanyak perbuatan-perbuatan yang mubah. Prilaku ini akan melahirkan ketidak pedulian, sehingga orang tesebut akan dengan mudah terperosok ke dalam maksiat yang menimbulkan pennyesalan.
2.      Sunnah : Membiasakan diri untuk melaksanakan shalat sunnah dan berusaha meninggalkan hal-hal yang syubhat. Prilaku orang yang demikian ini masih sangat jarang kita temukan.
Disamping itu termasuk cinta kepada Rasulullah, adalah tidak melaksanakan perintah atau tidak menjauhi larangan kecuali ada cahaya penerang dari beliau, dengan demikian orang tersebut akan selalu berjalan diatas jalan sudah digariskan. Orang  yang mencintai Rasul pasti akan meridhai syariat yang dibawanya dan berperangai seperti akhalknya, seperti dermawan, mulia, sabar dan rendah hati. Oleh sebeb itu orang yang berupaya untuk melakukan perbuatan seperti di atas, niscaya akan menemukan manisnya Iman.
            Syaikh Muhyiddin mengatakan “ Hadits mengandung makna yang mulia, karena hadits ini merupakan dasar Agama. Adapun makna “Manisnya iman” adalah kelezatan dalam melaksanakan ketaatan dan kemampuan menghadapi kesulitan  dalam agama, serta mengutamakan agama dari pada hal-hal yang berbau keduniaann. Cinta kepada Allah dapat dicapai denga ketaatan dan meninggalkan segala yang melanggar aturan-nya. Konsekuensi seperti ini tetap sama, bila kita mencintai Rasulnya. “ begitu pula bila kita mencintai Rasulnya , konsekuensinya tetap sama seperti ini”
            Kata yang dipakai dalam hadist tersebut adalah “apa saja” buka “ siapa saja”. Hal ini berfungsi untuk menekankan bahwa makna hadits ini umum mencakup semua benda hidup yang mempunyai akal dan yang tidak mempunyai akal.
وَأَنْ يَكْرَ هُ أَنْ يَعُوْ دَ فِيْ الْكُلفْرِ كَمَا يَكْرِ هُ يُلقَى فِي النَّا رِ
            Abu nu’aim menambahkan dalam kitabnya Al-Mustahkraj dari jalur sufya dari Muhammad bin Al- Mutsna guru Imam Bukhari dengan Kalimat و بَعْدَ إِذْ أَنْقَذَهُ الَّهُ مِنْهُ( Setelah diselamatkan Allah Dari Kekufuran). Redaksi sepertin ini juga diriwayat kan oleh Imam Bukhari melalui jalur yang lain. Kata Inqaadz ( diselamatkan) lebih umum dari kata “ishmah” (dijaga) sejak lahir dalam keadaan Islam atau dikeluarkan dari gelapnya kekufuran menuju cahaya Imam, sebagaimana yang dialami oleh sebagian para sahabat.

Catatan :
            Semua sanad hadits ini adalah orang Bashrah. Hadits menjadi dalil akan Keutamaan membenci kekufuran. Hadits ini dicantumkan pada bab dan keutamaan cinta kepada Allah dengan فِي النَا رِ أحَبَّ إلَيْهِ مِنْ أنْ يَرْ جِعَ إِلَي الَكُفْرِ بَعْدَ إذْ أَنْقَذَ هُ اللهُ مِنْهُ وَ حَتَّى أنْ يَقْذَ فَ    Redaksi hadits ini lebih lugas, Kerena Hadits ini menyamakan dua perkara, yaitu dilemparkan dalam api dunia adalah lebih baik dari pada kekufuran. Redaksi hadits seperti inilah yang diriwayat kan oleh imam muslim, Nasa’i dan ismail dari Qatadah dari anas.
           
            Dalam riwayat Imam Nasa’I dari jalur sanad Thalq bin hubaib dari anas, ditambahkan Kata  البُغْض( benci), dengan demikian redaksi hadist menjadi,فِي اللهِ   وَأَنْ يُحِبَّ فِي اللهِ و يُبْغِضُ ( Mencintai Dan Membenci Karna Allah)..



0 komentar :

Posting Komentar